Sesungguhnya orang-orang yang inkar terhadap perayaan maulid Nabi saw., mereka berargumen bahwa merayakan maulid Nabi saw. itu termasuk bidah dan setiap bidah itu sesat.
Oleh karena itu, kami merasa berkewajiban untuk membahas tentang persoalan bidah ini, dan menjelaskan mana yang masuk dalam kategori sesat dan yang tidak.
Pertama: Arti bidah dan pembagiannya.
Dalam kitab An-Nihayah Ibnul Atsir menjelaskan tentang bidah dan pembagiannya, ia berkata: Bidah itu terbagi menjadi dua; 1. Bidah yang baik, 2. Bidah yang sesat, sebab itulah setiap sesuatu yang bertentangan dengan perintah Allah dan Rasul-Nya maka hal tersebut layak dicela dan diinkari.
Dan setiap ritual yang masih tercakup dalam kesunahan yang dianjurkan oleh Allah dan Rasul-Nya, maka hal yang demikian layak dipuji.
Adapun perilaku atau sikap yang tidak terdapat contohnya, seperti sikap murah hati dan kedermawanan serta mengerjakan amal shalih, itu semua termasuk perilaku terpuji dan tidak layak untuk dikategorikan sebagai perilaku yang menyimpang dari syari’at, karena Nabi saw. telah menjanjikan pahala bagi siapapun yang mengerjakan hal tersebut dengan sabdanya:
مَنْ سَنَّ سُنَّةً حَسَنَةً كَانَ لَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا
“Barang siapa mengerjakan suatu amal kebaikan, maka ia akan mendapatkan pahala dari amalnya dan pahala orang yang mengerjakannya pula”.
Selanjutnya Nabi bersabda kebalikan dari hadits tersebut:
وَمَنْ سَنَّ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا
“Dan barang siapa mengerjakan suatu amal kejelekan, maka ia akan mendapatkan dosa dari amalnya dan dosa orang yang mengerjakannya pula.
Di antaranya pula terdapat perkataan sayyidina Umar ra.: Ini merupakan bidah yang paling baik.
Beliau berkata demikian ketika bidah tersebut termasuk perbuatan baik dan layak untuk dipuji dan beliaupun memujinya, sebab itulah beliau menamakannya sebagai-bidah; karena pada saat itu Nabi saw. tidak menganjurkannya kepada para sahabat, hanya pada beberapa malam saja beliau berjamaah dengan para sahabat kemudian setelah itu beliau tidak keluar lagi untuk berjamaah shalat tarawih dengan para sahabat, lagi pula beliau tidak pernah mengumpulkan para sahabat untuk mengerjakannya, dan itu pun tidak ada pada zaman Abu Bakar, namun disaat Umar ibn Khattab ra. menjadi khalifah beliau mengumpulkan para sahabat untuk mengerjakan shalat tarawih berjamaah, serta menganjurkan kepada mereka untuk melestarikannya, sebab hal inilah beliau menamakannya sebagai bidah, namun demikian hakikatnya itu merupakan sebuah kesunahan. Sesuai sabda Nabi saw.:
عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ مِنْ بَعْدِي
“Berpeganglah kalian semua pada sunahku dan sunah khulafaurrasyidin setelahku”.
dan sabda beliau:
اقْتَدُوا بِاللَّذَيْنِ مِنْ بَعْدِي أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ
“Ikutlah kalian pada dua orang setelahku, Abu Bakar dan Umar”.
Sesuai penjelasan ini maka hadits: (كُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ), “Setiap sesuatu yang dibuat-buat itu bid’ah”, itu diarahkan pada bid’ah yang menyimpang dari pokok-pokok syari’at islam dan tidak sesuai dengan sunah Nabi saw.. (selesai)
Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa:
1- Bid’ah terbagi menjadi dua;
a) Bid’ah yang baik, yaitu bid’ah yang pernah disebutkan oleh Nabi dengan sabdanya:
مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً، فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ، كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا، وَلَا يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ
“Barang siapa mengerjakan amal kebaikan dalam islam kemudian ada orang yang menirunya, maka ia akan mendapatkan pahala dari amalnya dan pahala orang yang menirunya tanpa dikurangi sedikitpun pahala dari mereka”. Nabi saw. menyebutkan bidah di sini sebagai sunah hasanah (perbuatan baik), jika demikian maka yang dikehendaki dengan bidah di sini ialah bidah yang benar yaitu bidah hasanah.
b) Bidah yang sesat: yaitu bidah yang telah disebutkan keriterianya oleh Nabi, beliau bersabda:
وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً، فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ، كُتِبَ عَلَيْهِ مِثْلُ وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا، وَلَا يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ
“Barang siapa mengerjakan amal kejelekan dalam islam kemudian ada orang yang menirunya, maka baginya mendapatkan dosa atas perbuatannya, dan dosa orang yang menirunya, tanpa dikurangi sedikitpun dosa dari mereka. Hadits ini diarahkan pada sunah sayyiah (perbuatan jelek) dengan kata lain termasuk bidah dholalah (bidah yang sesat).
2- Hadits Kullu Bidatin Dholalah hanya teruntuk bidah sayyiah (ritual baru yang dianggap jelek) dan itu merupakan kesimpulan dari beberapa hadits yang ada, dan ini juga yang dipahami oleh para sahabat Nabi ketika mereka mengerjakan sebuah ritual keagamaan baru yang dianggap baik (bidah hasanah) yang tidak menyimpang dari pokok-pokok (inti) ajaran islam bahkan ritual tersebut sangat sesuai dengan ajaran islam itu sendiri, mereka pun mengerjakannya bukan dalam rangka menciptakan agama baru.
Dalam keterangan yang akan saya uraikan nanti, kalian akan menjumpai perilaku para sahabat Nabi saw. yang memahami hadits-haditsnya bahwa bidah itu terbagi menjadi dua yakni bidah hasanah dan bidah sayyiah.
Mengenai hadits kullu bidatin dholalah” Imam an-Nawawi menjelaskan bahwa hadits tersebut sifatnya umum dan perlu adanya pengklarifikasian. Adapun yang dimaksud dengan hadits tersebut ialah; secara umum bidah banyak yang sesat.
Beliau juga memperkuat penjelasannya dalam kitab Shahih Muslim mengenai hadits: Man Sanna Fil Islam Sunnatan Hasanatan Falahu Ajruha.(Al-Hadits), hadits ini memotivasi kita supaya menjadi orang yang pertama kali dalam melakukan kebajikan dan amal shalih serta memperingatkan kita agar menjauhi pebuatan yang menyimpang dan tercela. Hadits ini sekaligus men-takhsis (menjadi pengecualian) dari hadits yang berbunyi: kullu muhdatsatin bidah wa kullu bidatin dholalah. Karena maksud dari hadits ini ialah setiap perbuatan baru yang menyimpang dan tercela. (selesai)
Al-Hafidz Ibnu Rajab dalam kitabnya menjelaskan mengenai hadits Nabi: “Wa Iyyakum Wa Muhdatsatil Umur Fa Inna Kulla Bidatin Dholalah”, menurut beliau bidah ialah: Suatu perbuatan yang tidak ada dalilnya dari Al-Quran atau Hadits, adapun yang terdapat dalil dari Al-Quran atau Hadits maka itu tidak termasuk bidah walaupun secara bahasa termasuk kategori bidah.
Nabi merupakan orang arab yang paling fasih dalam berbicara, dan beliau juga menguasai berbagai macam kosakata dalam bahasa arab, seandainya semua bidah langsung divonis masuk neraka tanpa membedakan antara bidah yang baik dan yang jelek, maka niscaya beliau berkata: semua bidah masuk neraka”, namun kenyataannya tidak demikian, melainkan Nabi saw. menspesifikkan dengan kata dholalah (bidah yang jelek/sesat). Renungkanlah!.
Kedua : Nabi saw. tidak menyebutkan secara keseluruhan perkara apa saja yang boleh dilakukan dalam islam karena terlalu banyak.
Amat banyak sekali perkara atau perbuatan yang boleh dilakukan dalam islam, karena itulah Nabi saw. tidak menyebutkan semuanya, dan hanya sebagian saja yang beliau sebutkan, sebagaimana pribahasa meninggalkan sesuatu bukan berarti mengharamkan hal tersebut, maka barang siapa mengharamkan sesuatu dengan dalih Nabi tidak pernah melakukannya maka asumsi tersebut merupakan asumsi yang tidak berdalil dan ditolak.
Beliau juga mengatakan bahwa di antara perkara yang sudah maklum adanya ialah; Nabi saw. tidak mengerjakan semua perkara sunah secara keseluruhan karena beliau disibukkan dengan perkara yang lebih penting yang menghabiskan waktu beliau yaitu: menyampaikan dakwah, debat dengan orang-orang musyrik dan ahli kitab, memerangi orang-orang kafir dengan tujuan membela kaum muslimin, mengadakan perjanjian keamanan dan gencatan senjata dengan orang-orang kafir, menegakkan hukum islam, menyelamatkan tawanan perang, mengirim petugas zakat, dan masih banyak lagi yang lain dari beberapa perkara yang menjadi tonggak berdirinya agama islam, juga memperkokoh serta memperkuat sendi-sendi dalam islam, bahkan beliau dengan sengaja meninggalkan sebagian ibadah sunah karena khawatir akan diwajibkan terhadap umatnya, atau khawatir umatnya tidak sanggup melakukan ibadah tersebut.
Semua itu dilakukan oleh Rasulullah saw. karena beliau telah menganggap cukup dengan adanya nash-nash dalam Al-Quran yang mencakup segala macam kesunahan dengan berbagai macam praktek yang ada semenjak islam datang sampai hari kiamat. Seperti firman Allah Swt.:
وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللَّهُ (سورة البقرة: 197)
Artinya: “Segala yang baik yang kamu kerjakan, Allah mengetahuinya”. (QS. Al-Baqarah: 197)
مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا (سورة الأنعام: 160)
Artinya: “Barang siapa berbuat kebaikan mendapat balasan sepuluh kali lipat amalnya”.(QS. Al-An’am: 160)
وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (سورة الحج: 77)
Artinya: “Dan berbuatlah kebaikan agar kamu beruntung” (QS. Al-Hajj: 77)
وَمَنْ يَقْتَرِفْ حَسَنَةً نَزِدْ لَهُ فِيهَا حُسْنًا (سورة الشورى: 23)
Artinya: “Dan barang siapa mengerjakan kebaikan dan kami tambahkan kebaikan baginya. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Mensyukuri”. (QS. Al-Asy-Syura: 23)
فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ (سورة الزلزلة: 7)
Artinya: “Maka barang siapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya”. (QS. Az-Zalzalah: 7)
Banyak sekali hadits yang menerangkan tentang hal ini, kami hanya menyebutkan sebagian saja atas izin Allah swt. Maka barang siapa beranggapan bahwa mengerjakan kebaikan yang baru, lalu diklaim sebagai bidah yang tercela maka anggapan tersebut itu salah dan menyimpang dari ajaran Allah dan Rasul-Nya, sebab ia telah mencela apa yang telah dianjurkan dalam Al-Quran dan Hadits. (selesai)
Ketiga : Pembagian bidah.
Imam An-Nawawi membagi bidah menjadi lima, beliau berkata: Para ulama berkata: Bidah ada lima, yaitu; bidah wajib, bidah sunah, bidah haram, bidah makruh dan bidah mubah.
Di antara bidah yang wajib ialah: Menyusun dalil-dalil untuk menolak orang-orang yang menentang dan menyimpang dari ajaran Allah dan Rasul-Nya dsb.
Di antara bidah yang sunah ialah: Mengarang beberapa kitab, membangun madrasah, pondok, dsb.
Di antara bidah yang mubah ialah: Meracik dan mengonsumsi berbagai macam kuliner dan makanan dsb.
Adapun bidah yang haram dan makruh: keduanya sudah jelas.
Selaras dengan keterangan di atas, al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani mengutip pendapat dari sulthanul ulama syaikh Izzuddin ibn Abdussalam di akhir kitabnya yaitu kitab Al Qawaid .
Keempat: Kesimpulan bidah hasanah dari apa yang dilakukan oleh para sahabat setelah Nabi saw. wafat.
Banyak sekali bidah hasanah (perkara baru yang baik untuk dilakukan) yang dikerjakan oleh para sahabat, mereka berargumen bahwa hal tersebut masih di bawah cakupan sabda Nabi Saw.: Barang siapa mengerjakan satu kebaikan. Dan apa yang telah dilakukan oleh para sahabat menjadi salah satu asas dalam syariat islam, di antaranya sebagai berikut:
1- Sayyidina Umar ra. mengumpulkan para sahabat untuk melaksanakan shalat tarawih berjamaah, disaat beliau melihat para jamaah beliaupun berkata: Ini merupakan bidah yang paling baik.
Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani berkata di dalam kitab al-Fath, beliau menjelaskan tentang ucapan sayyidina Umar ra: Nimatil bidatu hadzihi, menurut beliau bidah pada mulanya ialah: perkara baru yang tidak terdapatkan contoh pada sebelumnya, dan secara syara bidah diucapkan untuk sesuatu yang keluar dari sunah Nabi, sebab itulah bidh termsuk perkara yang tercela, namun tidaklah demikian, karena yang benar ialah jika bidah tersebut masih dalam cakupan perkara yang dianggap baik dalam syariat islam, maka dinamakan bidah hasanah, namun jika termasuk perkara yang dianggap buruk dalam syariat islam, maka dinamakan bidah sayyiah, dan bidah sendiri masih terbagi lagi menjadi lima hukum. (selesai)
2- Mengumpulkan Al-Quran pada masa khalifah sayyidina Abu Bakar ra. atas permintaan (isyarah) dari sayyidina Umar ra., dan cerita tersebut merupakan cerita yang sudah masyhur (terkenal).
Orang yang yang berasumsi bahwa sesuatu yang tidak dilakukan oleh Nabi Saw. itu di arahkan ke haram secara muthlak tanpa memerinci terlebih dahulu itu merupakan asumsi yang tidak benar, karena sesuatu yang tidak beliau lakukan itu ada kalanya dianggap buruk/tercela dalam islam dan itu dihukumi haram atau makruh, namun jika sesuatu yang tidak beliau lakukan tersebut dianggap baik dalam islam, maka hukumnya wajib atau sunah. Jika tidak demikian maka apa yang dilakukan oleh sayyidina Abu Bakar dan sayyidina Umar itu dihukumi haram, dan ini merupakan asumsi yang sangat salah/keliru.
3- Sayyidina Utsman ibn Affan ra. menambahkan adzan kedua pada waktu shalat jumat. Al-Imam al-Allamah Syaikh Ali Jumah seorang mufti di Mesir- berpendapat mengenai adzan kedua pada shalat jumat beliau berfatwa: “Adzan tersebut dilakukan dengan bertujuan untuk memberi tahu manusia akan masuknya waktu shalat, dan mengingatkan mereka supaya bergegas untuk melaksanakan shalat. Iqamah dikumandangkan untuk memberi tahu bahwa shalat akan dilaksanakan, untuk setiap shalat lima waktu hanya dikumandangkan adzan satu kali saja. Disyariatkannya adzan itu pada tahun pertama hijriyah, sebagaimana yang tertera dalam hadits tentang mimpi Abdullah ibn Zaid dan Umar ibn Khatthab ra.
Pada masa Nabi saw. hingga khalifah Abu Bakar dan Umar ra. hanya ada satu kali adzan dan iqamah untuk setiap shalat fardlu dan shalat jumat, hingga pada masa khilafah Utsman ibn Affan ra. beliau menambahkan adzan menjadi dua kali pada shalat jumat, sebab keadaan yang menuntut hal tersebut yaitu bertambah banyaknya kaum muslimin. Pada dasarnya adzan telah disyariatkan dalam islam dan tidak ada larangan untuk menambah adzan pada waktu yang memang dibutuhkan oleh kaum muslimin, hal ini juga sependapat dengan yang dipahami oleh shahabat Bilal ra., dengan melaksanakan shalat sunah wudlu, padahal tidak terdapatkan dalil khusus yang menerangkan tentangnya.
Imam Bukhari menceritakan tentang gagasan sayyidina Utsman ra. Yang menambahkan adzan kedua pada shalat jumat, dari as-Saib ibn Yazid ra., beliau berkata: Pada masa Rasullah saw., Abu Bakar dan Umar ra. adzan saat shalat jumat itu dikumandangkan ketika imam telah duduk di atas mimbar, kemudian di saat Utsman ibn Affan ra. menjadi khalifah dan umat islam semakin banyak, beliau menambahkan adzan manjadi tiga kali, dan itu berlangsung di az-Zaura. Al-Bukhari menggunakan redaksi adzan tiga kali karena beliau menganggap iqamah sebagai adzan.
Pada saat itu, apa yang dilakukan khalifah Utsman ibn Affan ra. tidaklah dianggap aneh oleh para sahabat, bahkan mereka semua menyetujuinya, dan berlanjut pada masa khalifah Ali ibn Abi Thalib ra. sampai sekarang.
Al-Bukhari meriwayatkan dengan jalur yang berbeda serta terdapat penambahan di dalamnya, dari az-Zuhri, beliau berkata: Saya mendengar As-Saib ibn Yazid berkata: Pada masa Rasulullah saw., Abu Bakar dan Umar ra. adzan jumat dikumandangkan ketika imam duduk di atas mimbar, akan tetapi ketika masanya Utsman ibn Affan ra. beliau memerintahkan agar adzan jumat ditambah menjadi tiga kali, dan itu dilaksanakan pertama kali di az-Zaura, kemudian berlanjut hingga saat ini.
Ibnu Hajar al-Asqalani mengatakan: Pada kenyataanya semua kaum muslimin di seluruh dunia mengikuti apa yang dilakukan sahabat Utsman ibn Affan ra. karena notabennya beliau merupakan khalifah (pemimpin) yang dipatuhi perintahnya. Beliau juga mengatakan: setiap sesuatu yang tidak terdapat pada masa Nabi saw. itu dikatakan bidah, namun dari bidah ini ada yang baik, dan ada yang tidak.
Dari uraian di atas jelaslah bahwa apa yang dilakukan oleh sayyidina Utsman ra. Itu bertujuan untuk memberi tahu akan masuknya waktu shalat sebagaimana adzan pada shalat fardlu yang lain. Dan beliau menetapkan yang sudah dijalankan oleh Nabi saw. yaitu adzan ketika imam duduk di atas mimbar. Beliau mengambil arti dari hukum asal serta tidak merusaknya.
Dengan keterangan di atas kita dapat mengetahui bahwa adzan dua kali pada shalat jumat merupakan gagasan dari sayyidina Utsman ra. Nabi bersabda: Barang siapa hidup di zaman setelahku lalu ia menjumpai banyak sekali perbedaan, maka ikutilah sunahku dan sunah khulafaur Rasyidin.
Sayyidina Utsman ibn Affan ra. merupakan salah satu dari khulafaur rasyidin yang disebutkan oleh Nabi saw.
Dikumandangkannya adzan dua kali di saat shalat jumat merupakan pendapat yang diterima oleh semua kalangan sejak zaman sahabat hingga sekarang. Oleh karena itu, jika ada orang yang mengingkarinya maka orang tersebut telah mencederai kesepakatan yang ada dalam syariat islam dan pendapat yang disetujui oleh para ulama dari masa ke masa. Maka barang siapa yang beranggapan bahwa hal-hal di atas merupakan bidah dholalah (hal baru yang sesat) maka orang tersebut telah berlawanan dengan hadits Nabi saw. yang menjamin bahwa Allah swt. tidak- mungkin mengumpulkan umatnya dalam kesesatan. Allah swt. adalah Dzat yang Maha Mengetahui.
Apakah pantas jika sayyidina Utsman ra. dikatakan sebagai ahli bidah yang menyesatkan sementara para sahabat semuanya menyetujui apa yang dilakukannya!.
Di antara bidah hasanah lagi ialah: Melaksanakan shalat tahajjud secara bejamaah di tanah Haram (mulia) Makkah dan Madinah pada setiap malam selama bulan ramadhan, menghatamkan Al-Quran ketika shalat tarawih, dan masih banyak lagi. Dengan semua itu, perayaan maulid Nabi saw. dapat diqiyaskan (disamakan) sebagai bagian dari bidah hasanah, selama tidak terdapat kemunkaran di dalamnya, serta berisikan dzikir kepada Allah swt. dan hal-hal lain yang mubah (boleh) untuk dilakukan.
Jika kita mengikuti orang yang berpendapat bahwa semua bidah itu sesat, maka kita tidak boleh mengumpulkan Al-Quran dalam satu mushaf, tidak boleh mengumpulkan umat islam untuk shalat tarawih berjamaah, tidak boleh mengumandangkan adzan dua kali di saat shalat jumat dan kita harus mengatakan bahwa seluruh para sahabat merupakan ahli bidah yang sesat!.