Ketika kita menilik keadaan dalam masyarakat kita, banyak yang mengatkan’ “ Sekolah yo nang, nduk, ben sok gampang olehe mergawe. (Jawa_red). Mereka beranggapan, seolah-olah yang tepenting adalah bagaimsn anak-anak mereka bisa memperoleh pekerjaan yang layak setelah mereka dewasa dengan bantuan selembar kertas pengakuan yang disebut dengan ijazah. Untuk mewujudkan hal itu, tentu sejak dini mereka telah mengenalkan dengan anak-anak mereka pendidikan umum yang berkelas, terlebih mereka yang tergolong mampu dalam segi materi. Hanya segelintir orang yang mempunyai pemikiran, “ hidup itu yang terpenting punya skill (Kemampuan)”, sehingga mereka tidak terlalu menganggap simbol pengakuan negara tersebut. Tidak perlu jauh-jauh ke kota, masyarakat perdesaanpun kini sudah mulai terhantui perihal kesuksesan anak-anak mereka. Seolah-olah sukses adalah ketika anak-anak mereka mendapat titel S1, S2 dan seterusnya. Banyak dari mereka lupa bagaimana perkembangan pendidikan agama anak-anak mereka. Apalagi kini progam wajib belajar 9 tahun dengan penggratisan operasional sekolah sangat membantu meringankan beban biaya sekolah putra putri bangsa ini.
Nah, kali ini penulis sebagai santri mencoba meluruskan sugesti yang banyak mempengaruhi masyarakat tersebut. Keberadaan orang tua sebagi figur utama tentunya sangat berpengaruh besar dalm masalah pendidikan putra-putri mereka. Sekali salah dalam menentukan pilihan pada awlanya, maka selanjutnya pun akan tetap pada jalur yang salah.
Pertama, terkait masalah-masalah pendidikan yang harus diberikan terhadap anak-anak mereka yang akhir-akhir ini memang lebih mengarahke arah formal. Sebenarnya keawajiban memberikan pendidikan terhadap anak dan keluarga ini berangkat dari ayat Allah SWT. Yang mengatakan:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا (التحريم : 6
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…” (QS. At Tahrim:6)
Dari ayat ini sayidina Ali RA: berkata: “ Artinya, ajarkanlah kepada keluargamu tentang sesuatu yang bisa menjauhkan atau menyelamatkan mereka dari api neraka”. Berarti keharusan bagi orang tua untuk anak-anak mereka adalah memberi pengajaran ilmu agama. Karena logikanya ilmu itu tidak terklalu berimbas pada kehidupan seseorang dalam berinteraksi dengan Tuhannya.
Untuk masalah anak-anak sendiri ulama telah menjelaskan bahwa awal dimulainya pengajaran tersebut adalah ketika seorang anakl itu sudah genap berusia tujuh tahun. Contoh, dalam kitab al Mausuah al Fiqhiyyah dijelaskan:
الموسوعة الفقهية الكويتية – 29 / 81
وقد صرح الفقهاء بأن وجوب تعليم الصغار يبدأ بعد استكمال سبع سنين ، لحديث : مروا أولادكم بالصلاة وهم أبناء سبع سنين ، واضربوهم عليها وهم أبناء عشر ، وفرقوا بينهم في المضاجع
“para ahli fikih menjelaskan bahwa kewajiban mengajari anak-anak itu dimulai setelah genap usia tujuh tahun, karena ( berdasarkan) hadist: “ perintahkanlah anak-anak kalian untuk (menunaikan) salat dalam kondisi berusia tujuh tahun, pukulah mereka agar melakukan salat dalam usia sepuluh tahun, dan pisahkanlah tempat-tempat tidur mereka”.
Dalam kitab tersebut dikatakan para ulama’ fikih mencetuskan bahwa kewajiban mengajari anak itu dimulai ketika anak itu genap berusia tujuh tahun dan boleh dipukul ketika genap berusia sepuluh tahun.
Kemudian Imam an Nawawi juga mengatakan: “Wajib atas para ayah dan ibu-ibu mengajari anak-anak mereka hal-hal yang akan menjadi kewajiban anak-anak setelah baligh. Maka seorang wali perlu mengajarkan si anak tentang bersuci, salat, puasa dan semisalnya, memberitahukan keharaman zina, Liwath (homoseks), mencuri, minum minuman keras, berbohong menggunjing orang lain dan lain sebagainya, memberitahukannya bahwa kondisi baligh akan menjadikannya masuk status mukalaf, serta memberitahukan sebab-sebab yang mengantarkan pada fase baligh.”
Dalam keterangan diatas jelas sekali bahwa, yang menjadi kewajiban bagi orang tua adalah mengajarkan sesuatu yang menjadi kewajiban mereka setelah mereka baligh, meliputi salat, puasa dan lainnya. Juga mengajari kepada mereka hal-hal yang diharamkan Syar’i, seta memberitahu bahwa ketika mereka telah baligh mereka sudah harus menngaggung beban sebndiri. Dan kami kira pendidikan seperti ini jarang sekali diporsikan secara penuh dalam lembaga formal seperti sekolah dasar, atau bahkan madrasah ibtida’iyyah sekalipun. Berarti, jika memang demikian, kewajiban orang tua terhadap anak-anak mereka belum gugur perihal pendidikan tersebut.
Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali berkata: “ Adapun muakdimah keempat, yaitu perkataan ulama’ : ketika seseorang tidak bisa memenuhi pengetahuannya dari dironya sendiri, maka ia wajib belajar dari selainnya”.
Dalam keterangan diatas al Ghazai menjelaskan bahwa ketika sesorang tidak bisa memenuhi pengetahuaannya dari dirinya sendiri, maka ia harus belajar dari yang lainnya. Dan hal ini sangat cocok diterapkan dalam masalah kita tadi. Yaitu, ketika orang tidak mampu memberikan atau menunaikan kewajiban-kewajibanpendidikan kepada anak-anak mereka, atau lembaga-lembaga formal yang dianggap sebagai akses pembantu itu juga tidak bisa memenuhinya( karena realitas yang ada memang demikian), maka orang tua harus mencari ganti untuk menggugurkan kewajibannya. Imam al Ghazali menambahi: “Jika seorang anak-anak itu sudah menerima (tercukupi) pendidikan dari orang tuanya, maka kami (al Ghazali) sepakat kebutuhan telah tercukupi. Namun jika pendidikan itu belum terpenuhi dan mennuntut adanya bantuan dari orang lain (tenaga pendidik), maka hendaklah pendidik yang baik”.
Dan menurut kami pendidikan yang baik itu akan lebih mudah kita kita dalam lingkungan pesantren terutama pesantren salaf. Karena dalam pesantren, kita tidak hanya didik ilmu agama saja, melainkan bagaimana kita menerapkannya, juga dididik agar menjadi pribadi yang berakhlakul karimah dalam kesehariaannya. Jadi interaksi kepada tuhan tertata dan kepada sesama juga terpenuhi.
Sekilas tentang pesantren
Pesantren salaf adalah satu-satunya lembaga dinegeri ini yang menaungi tafaquh fid dien dengan mengikuti manhaj salafunasshalih. Sejak berabad-abad yang lalu, pesantren slaf satu-satunya basis tarbiyyah wat ta’lim dan telah diakui paling berkompeten dalam melahirkan ulama. Di sana para santri diwejang dengan berbagai macam ilmu yang terangkum dalam kitab-kitab turats. Dan mereka juga digembleng dengan beragam metode tarbiyyah, baru setelah itu mereka akan disebarluaskan di tengah masyarakat untuk berdakwah.
Namun jejak pesantren salaf, semakin lama selalu dihadapkan pada berbagai ,acam tantangan serius. Dahulu, formalisasi dab pragmatisme tidak sampai memepengaruhi kehidupan masyarakat seperti zaman sekarang. Masih banyak orang-orang yang tidak terlalu mementingkan lembaga pendidikan formal, kecuali hanya kalangan tertentu saja. dari kalangan agamawan, juga masih banyak yang menginginkan anak-ank mereka utmbuh dilingkungan pesantren, agar dilain hari ada generasi-generasi ahli yang taat.
Modernisasi dan globalisasi telah mengubah cara pandang masyarakat. Hedonisme atau kecintaan terhadap materri duniawi yang membabi buta telah menutup hati mereka. Di mata mereka pesantren salaf atau kemampuan dibidang agama dianggap tidak bisa menjamin kebahagiaan masa depan. Bahkan cara pandang bodoh tersebut tidak hanya keluar dari masyarakat awam saja, tetapi juga dari alumni-alumni pesantren. Ironisnya, juga merambah ke keluarga kyai sendiri. Dan tidak kalah menyedihkan sekarang, sekarang telah banyak lembaga pesantren yang terperdaya oleh konspirasi Yahudi dan misi pem-baratan tersebut.
Formalisasi atau standarisasi kurikulum pesantren telah memaksa perubahan sistem yang ada di pesantren salaf. Nilai kesalafan murni yang selama ini menitikberatkan pendalaman al ‘Ulum al Syari’yyah serta tarbiyyah akhlakul karimah diganti dengan sistem akdemik yang modern dengan gaya hidup masa kini, tidak dipungkiri, pasti berorientasi pada perburuan ijazah atau menuruti kesenangan-kesenangan duniawi semata, sehingga dampak modernitas dalam dunia pesantren dapat dilihat melalui aspek berikut:
Aspek keilmuan. Bahwasanya modernitas berpotensi besar dalam menciptakan cerdik pandai yang berpikiran liberal, plural dan sekuler. Karena dalam pawejangan modernita seseorang didorong untuk selalu berpikiran serba logis (filsafat) atau digiring agar ikut mendukung tema-tema tentang HAM yang sesat. Pengetahuan tentang bumu dan isinya dipelajari leawat ilmu geografi atau geologi. Namun, kedua mata pelajaran yang kebanyakan menerangkan fenomena-fenomena alam semesta tersebut, tidak bernisbat pada Allah SWT, satu-satunya Dzat Pencipta. Tidak ketinggalan teori-teori filsafat, seperti evolusi dan revolusi yang berusaha menafikan kebenaran Al Qur’an, nash-nash Hadist Nabi Muhammad SAW dan lain sebagainya.
Aspek moralitas. Kemerosotan etika terlihat jelas dengan pudarnya rasa ikhlas saat bertholabul ilmi dan lunturnya sikap sendiko dawuh dengan ahlul ilmi. Bahkan sikap tawadhu’ dan andap anshor berubah menjadi sifat percaya diri dan kritis terlampau tinggi. Akibatnya terciptalah kesombongan yang berani menyalahkan dhawuh-dhawuh Kyai. Bahkan tidk jarang ada yang sengaja berseberangan dengan pendapat jumhurul ulama’. Hal itu bisa dimaklumi karena diantara slogan modernitas adalah “Bebas berfikir, berekpresi dan berkreasi”.
Selaras dengan dengan topik di atas Nabi Muhammad SAW bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: مِن اقتراب الساعة كثرة القراء وقلة الفقهاء وكثرة الأمراء وقلة الأمناء. (أخرجه الطبراني)
“ Termasuk tanda dekatnya hari kiamat adalah banyaknya shli pidsto sedangkan ahli fiqih sedikit. Banyaknya pemimpin sedangkan orang amanah sedikit. (HR. Imam ath Thobary)
Sayyid al Ghumary mongementari hadits diatas dengan mengatakan bahwasaanya, penyebab fitnah-finah dalam hadits tersebut adalah menjamurnya lembaga sekolah umum dizaman sekarang dengan sistem ala penjajah Barat. Sehingga yang diciptakan adalah alumni-alumni yang mahir dalam urusan keduniawian saja tanpa didasari pengetahuan tentang ilmu akhirat. Mereka lihai dalam urusan duniawi tapi bodoh dalam urusan ajaran agama mereka. Sehingga dunia dipenuhi orang-orang ahli pidato saja, sedangkan ulama’nya semakin berkurang.
Apa yang dikatakan Sayyid al Ghumari ini sekaligus mematahkan tuduhan dan membungkam fitnah yang selalu dilontarkan tokoh-tokoh modernis terhadap pesantren salaf.mereka telah menutup mata, bahwa sejak awal berdirinya pesantren salaf itu selalu bergerak dan mencetak generasi umat-umat yang bermanfaat dengan menitik beratkan aspek Ruhaniyyah dan aspek ‘Ulum asy Syar’iyah. Dan bukankah kedua aspek tersebut harus bisa dicapai, diamalkan secara mendalam baru kemudian akan benar-benar tercipta karakter muslim yang kuat, tangguh iman, pendiriannya (Ahlu Sunnah Wal Jama’ah). Jadi seenaknya saja ketika ada pihak yang ngomong “Santri/Kyai berjalan mundhuk-mundhuk, itu tawadhu’ atau dungu….? Di pesantren hanya diajarkan tuhu kepada kyai, tidak diberi kesempatan bertanya atau berdiskusi ilmiyyah sebagai ajang meningkatkan intlektualitas”. Sungguh, ini kalimat serampangan yang tidak pantas dan omong kosong belaka. Kenyataanya, usaha meningkatkan kualitas ilmiah terus digalakkan dalam pesantren. Forum-forum seperti Bahtsu Masa’il, Musyawaroh atau Mudzakaroh menjadi media pengkajian kutubu al fiqhi at turats secara lebih mendalam, dan sengaja dibentuk untuk melatih daya intelektual santri melalui ajang tukar pemikiran. Tidak hanya itu, bahkan para santri juga dituntut untuk mengamalakan kandungan kitab Ta’lim Muta’allim. Pembekalan demi pembekalan. Didalam kitab fenomenal tersebut diterangkan, bahwa cara mendapatkan ilmu dengan mengamalakan Banyak bertanya, dan bagus dalam pemahaman.
Semangat pesantren salaf adalah ibadah, ilmu bermanfaat dan barokah. Ilmu agama sangat berbeda dengan ilmu yang lain, sehingga dibutuhkan perantara khusus untuk mendapatkannya. Desebutkan bahwa seorang santri harus bisa menumbuhkan rasa cinta, ikhlas berkhidmah dan selalu bertawadhu’ dihadapan ahlul ilmi. Tidak mengherankan jika pesantren harus ada pengalaman prinsip as-sam’u wa ath tha’ah selam tidak menerjang larangan syari’at. Dan penting diketahui bahwa ajaran ajaran ini bukan sebuah tutntutan untuk berjalan mundhuk-mundhuk ( ndingkluk). Agama tidak mengajarkan tradisi semacam ini. Adapun realita yang terjadi, unggah-ungguh dalam bentuk fisik sebenarnya dalam menghormati guru dan para sespuh (kondisional).
Budi pekerti, rendah hati dan ketawadhu’an sangat ditekankan dilingkungan pesantren salaf. Sudah maaklum bahwa merasa lemah dihadapan Allah adalah fitrah dan merupakan pangkal dari segala bentuk ketaqwaan. Dibawah bimbingan masasyekh para santri senantiasa diwejang agar tahu posisinya sebagai hamba dha’if. Sebagaimana salafus shalihin yang tidak pernah mengajarkan sifat takabur, ujub, sombong yang membuat manusia merasa paling beanr atau terpikir paling selamat sendiri. Seringkali santri diminta kyainya untuk bermujahadah. Sangat penting, karena kenyataannya banyak orang terlena menuruti kesengana hawa nafsu. Beberapa contoh, orang-orang berpendidikan formal yang merasa produk ilmiyyahnya paling relevan, ormas-ormas keagamaan seperti NU, Muhammadiyyah yang mengaku paling membawa kemaslahatan umat dunia akhirat, jamaah dzikir yang terlalu yakin selamat dari siksa, atau dari perseorangan yang merasa paling banyak ilmu dan amalnya sehingga yakin dapat jaminan surga atau setidaknya enggan menerima nasehat orang lain. Hal-hal kayak beginilah yang sangat dikhawatirkan Rasulullah SAW. diterangkan dalam kitab Al Ithafaat Al Saniyyah Bil Ahadits Al Qudsiyyah bahwasanya:
“Nabi SAW bersabda; “Andaikan kalian tidak berdosa, sungguh akumenghawatirkan satu hal yang lebih membahayakan dari itu semua, yaitu; ujub dan ujub”. Karena orang yang berbuat maksiat tidak merasa aman dari rencana rahasia dan siksa Allah sebgaimana yang baru saya jelaskan. Dan ia tidak melihat kebajikan dan kebenaran disisAllah taala, bahkan ia selalu dalam ketakutan dan kepanikan karena dosanya itu, sehinnga mengharap ampunan dari Tuhannya. Sementara si pelaku ujub tertipu akan ilmu dan amalnya, sehingga ia jauh dari taubat. Dan pelaku ujub inilah yang diterangkan dalam ayat: “dan mereka menyangka bahwa diri mereka telah berbuat dalam kebajikan”. (al Kahfi 104)”.
Dalam hal ini bukan berarti kami memebenarkan kemaksiatan-kemaksiatan. Kami hanya menyanyangkan kenapa praktek-praktek ananiyah atau penyakit ujub bisa menjangkiti masyarakat yang dhohirnya berperilaku baik. Bukankah bentuk ketundukan dan berpasrah diri itu berangkat dari keyakinkan bahwa segala nasib manusia semuanya dibawah kehendak dan kuasa Allah al Qadir al Murid. Setingkat waliyullah saja dengan ilmub dan amalnya tetap tidak boleh merasa aman dari makrullah. Dalam kitab Hasiyakh al Siba’i syarh al Kharidah al Bahiyyah dijelaskan bahwa:
“Auliya’ adalah hamba-hamba Allah yang terjaga, dalam arti bahwa bilamana mereka melakukan dosa, maka Allah akan memberikan taufik dengan bertaubat. Mereka tidaklah maksum. Oleh karena itu mereka tidak terhindarkan dari fakta lain yang Allah rencanakan, dan mereka berharap rahmat dan takut pada siksa-Nya”.
Walhasil, kenapa pendadikan kenapa pendidikan di pesantren itu beda? Tidak lain karena didalmnya terdapat banyak sekali ajaran pokok yang berbeda dengan lembaga pendidikan yang lain.
Hampir punahnya pesantren salaf merupakan bahaya besar bagi umat islam dimasa yang akan datang. Sejajar dengan bahaya bagi orang awam yang mulai berpaling dari para ulama’. Oleh karena itu, disamping kesalafan ada hal lain yang juga perlu dilanggekangkan, yaitu keakraban antara ulama’ dengan elemen setiap masyarakat. Masyarakat butuh bimbingan dan arahan mengenai konsep-konsep ‘ubudiyyah, seperti; tata cara shalat berjama’ah dan lain sebagainya. Adapun penyampaian bisa terlaksana lewat majlis-majlis ta’lim di masjid. Teras-teras mushala atau ditengah acara tradisi masyarakat. Dan sunguh alangkah bagusnya bisa mengajak selalu aktif dan istiqomah dalam pengajian-pengajian sehabis shalat berjama’ah.
Dan harus kita katakan secara jujur, kalau menginginkan amaliyah-amaliyyah kaum santri (Nahdhatul ‘Ulama) selalu eksis, seperti acara tahlilan, maulid dan lain sebagainya yang tidak tergerus oleh zaman zman, maka melestarikan pendidikan lewat pesantren salaf dan madrasah diniyyah adalah jalannya. Karena dua lembaga diniyyah inilah yang bergerak diatas nilai-nilai ubudiyyah, selaras dengan tradisi keagamaan. Apalagi nilai ijazah tidaklah menjadi targetnya, sehingga tidak pernah memforsir murid-muridnya demi kepentingan ujian nasional. Sangat berbeda dengan lembaga pendidikan formal. Dan patut diingat, kasus ketidak jujuran pihak sekolahan atau anak didik saat UNAS cukup membuktikan terjadinya penyelewengan ilmu agma. Satu keprihatinan bagi umat!, akibat lembaga-lembaga formal terus menekan banyak kegiatan ekstrakulikuler, akhirnya ngaji al Qur’an, belajar-mengajar kitabussalaf bagi anak muda menjadi korban, termasuk pembelajaran khot-imla’, ilmu tajwid dan ilmu-ilmu alat lain. Inna lillh wa inna ilaihi raaji’un.
Sekali lagi, kenapa harus pesantren salaf dan madrasah diniyyah?, Tidak lain karena lulusan pesantren atau jebolan bangku madrasah mempunyai kwalitas bacaan al Qur’an yang baik atau pemuroddan kitab-kitab salaf yang bnar. Sehingga mereka pantas menjadi pimpinan bagi umat ditengah-tengah secara tradisi keagamaan (tahlilan dan lain sebagainya). Sementara yang lain harusnya cukup menjadi makmum dan bertaqlid saja (untuk zaman sekarangsudah dipandang baik semoga berpahala). Mau tidak mau orang yang memimpin acara-acara tradisi haruslah ia yang berkemampuan beragama , termasuk menguasai khot-‘imla’ dan ilmu tajwid’. Apalagi ini juga menngkut perkara ‘ibadah shalat berjama’ah, berwudhu yang sah berhati-hati urusan kencing (tidak nyiprat terkena pakaian atau badan ), tentu yang terjamin absah hanyalah mereka yang amaliyahnya selalu terikat dengan fatwa-fatwa para ulama’. Kaum santri salaf atau yang berguru kepada mereka sangat pantas mengemban dakwah, dan bertanggung jawab dalam membimbing atau mengimami umat. (MNN/El QOLAM)