Sebelum kedatangan Islam, di tanah Jawa banyak sekali Khurafat atau klenik-klenik yang terpengaruh oleh faham Sinkretisme, Animisme, dan Dinamisme. Dan berikut adalah kepercayaan-kepercayaan dan tradisi Jawa Jahiliyyah:
- Pemujaan terhadap benda-benda alam dan binatang disamping arca-arca.
- Percaya dengan berbagai persembahan sesaji yang bertujuan untuk menyenangkan arwah-arwah, dewa, bidadari atau untuk menghilangkan kesialan.
- Percaya pada macam-macam roh seperti cicunuk, memedi karo dll.
- Meyakini saat-saat sial atau mujur berdasarkan tanda, hitungan dan mitos-mitos.
- Meyakini suatu hal yang ghaib sebagai pencipta.
- Simbolisasi tradisi.
- Laku tapa yang disebut Yoga, yaitu sebagai sarana untuk mendapatkan kekuatan atau ketenangan batin. Oleh karena itu dulu banyak para resi-resi, wiku, brahmana, yang bertapa dilereng-lereng gunung.
- Menjamurnya praktek-praktek santet, teluh, guna-guna, gendam, pelet, perewangan, pesugihan, berbagai jimat dan ilmu-ilmu hitam yang lain.
- Hiburan-hiburan rakyat, seperti wayang kulit, gending, kidung, ketoprakdan serat menjadi ajaran kesusilaan dan kepercayaan.
- Tradisi-tradisi yang menyentuh perjalanan manusia. Tradisi ini biasanya dimulai sejak manusia itu berada di dalam perutnya, masa kelahiran dewasa sampai dewasa.
- Kemudian ada tradisi-tradisi yang menyentuh prilaku-prilaku manusia, seperti ritual untuk pertanian, perdagangan, berangkat berlayar. Sehingga ada istilah acara sambetan, metil, pleretan, keleman, larung sesaji dll.
- Penduduk Jawa memiliki tradisi slametan (kenduren) yang dilaksanakan sebelum mereka mendapatkan kenikmatan, seperti selametan mitoni yang dilakukan sebelum jabang bayi lahir.
Kedatangan Islam di Jawa
Sejarah kehadiran Islam di Nusanara dengan kondisi masyarakat yang telah menganut paham Sinkretisme, Animisme, dan Dinamisme, tidak bisa dilepaskan dari cara pendekaan dakwah para mubaligh Islam. Proses dakwah yang lebih menekankan aspek sosial, pemikiraan dan spiritual. Diantara ada yang melalui pernikahan dengan putri kerajaan, sehingga para mubaligh menemukan kemapanan dalam berdakwah. Dalam pergaulan sosial, ada yang saling berbagi pengetahuan tentang cara berniaga, bertani atau membantu masyarakat dengan berbagai pengobatan. Disamping itu, langkah-langkah adaptif selalu mereka tempuh dengan membiarkan tradisi yang telah mengakar kuat, seraya melakukan infiltrasi ajaran dan pandangan Islam.
Walhasil, keberhasilan para mubaligh menyebarkan ajaran Islam di tanah Jawa ini tidak lepas dari dibiarkannya tradisi-tradisi untuk tetap berkembang di masyarakat, kemudian ditambah lagi dengan karakter penduduk pribumi yang sebelumnaya akrab dengan ajaran tat asusila, basu kromo, soba sita dengan dicirikan sifat guyub dan gotong royong. Sehingga dari akulturasi Islam dalam karakter tersebut akhirnya Islam mudah diterima dan cepat menyebar di Nusantara.
Dan perlu disadari, bahwasanya tugas penyebaran ajaran Islam oleh para mubaligh Islam tempo itu belumlah sempurna. Mereka memang telah menanamkan ajran tauhid dan mengakkan berbagai ajaran Syari’at Islam. Akan tetapi, realitanya tidak sedikit orang yang amal perbuatannya banyak yang masih menyipang. Disamping itu, masih ditemukan orang-orang yang mengaku sebagai golongan Islamabangan atau islam kejawen dan lain sebagainya,. Bahkan sebagian kaum santri pun terkadang masih ada yang konsisten dengan ritual-ritual kaum abangan.
Oleh karena itu, menjadi tugas kaum muslimin yang sedikit paham tentang ilmu agama untuk selalu antusias dalam aktifitas dakwah dan pemurnian ajaran islam, seperti aktif memberi pengertian kepada masyarakat tentang arti pentingnya ibadah tadharu’, taqarrub ilallah lebih-lebih, ibadah shalat berjama’ah di masjid atau tentang kewajiban dan hikmah menunaikan zakat, puasa Ramadhan. Dan disamping itu, ketika menghadiri acara selametan dan tradisi masyarakat yang lain, maka, diterangkan tentang pengertian syirik atau sunnah dan lain-lain sebagainya.
Untuk menjauhkan masyarakat dari segala praktek kemusyrikan, maka para mubaligh menggagas tradisi pekanan yang dikemas dengan nuansa islami. Seperti melaksanakan tradisi Tahlilan, Kenduren, Yasinan, Manaqiban, Haul, Ziarah Kubur, membaca Maulid tiap malam Jum’at dan lain sebagainya. Acara-acara tersebut telah berjalan turun-menurun, bahkan telah mebentuk wajah islam di Nusantara.
Hal berikut diantara langkah taktis penyusupan ajaran tauhid yang dibuat sederhana, sehalus dan sedapat mungkin memanfatkantradisi lokal;
- Membumikan ajaran Islam melalui syair-syair. Contoh: Gending Dharma, Suluk Sunan Bonang, Hikayat Sunan Kudus dll.
- Menyembunyikan kenthongan dan bedhug sebagai ajaran sholat lima waktu, sekaligus alaram pengingat. Sebab insting masyarakat telah akrab dengan suara bedhug sebagai pemanggil untuk acara keramaian.
- Menggeser tradisi klenik, ngruwati, brokohan dengan do’a-do’a pengusir jin sekaligus do’a ngirim para leluhur yang beragama Islam diantaranya yang disebut Istighosah, Tahlilan, Yasinan, Maullidan dll.
Makna Tradisi dalam Kitab-Kitab Ushul al Fiqh
Tradisi adalah sesuatu yang terjadi secara berulang-ulang dengan disengaja dan bukan kejadian asal kebetulan. Dalam kitab al Wajiz fi Ushu al Fiqh, oleh Abdul Karim Zaidan, diterangkan “Urfa tau Tradisi adaal kebiasaan yang dilakukan masyarakat yang dilaksanakan secara berulang-ulang dan berkelanjutan dalam kehidupan mereka baik berupa ucapan atau perbuatan. Urf dan tradisi itu satu makna menurut pra ulama’ fiqh”.
Dalam hal ini, Syaikh Shalih bin Ghanim al-Sadlan, ulama’ Wahabi Kontemporer berkata: “ Dalam Kitab Dhurar al Hukam Syarh Majallat al Hakam al-adliyyah berkata:”Adat (Tradisi) adalah sesuatu yang menjadi keputusan pikiran banyak orang dan diterima orang-orang yang memiliki karakter normal”.
Islam tidak menilai setiap budaya dan tradisi yang dilakukan oleh suatu bangsa non-Islam itu pasti selalu salah dan harus diberantas. Budaya dan tradisi yang baik tidak serta merta menjadi buruk dan salah hanya karena dilakukan oleh selain orang Islam. Ketika sebuah tradisi itu memang benar maka, Islam membenarkan dan menganjurkannya. Dan Hadits Sharih diriwayatkan:
عن عائشة قالت : كانت قريش تصوم في الجاهلية يوم عاشوراء فلما قدم رسول الله صلى الله عليه و سلم المدينة حين هاجر صام وأمر الناس بصومه فلما نزل رمضان فمن شاء صام ومن شاء ترك { مسند إسحاق بن راهويه . ج 2 / ص 153 }
Dari Aisyah RA, beliau berkata: Kaum Quraisy melakukan puasa Asyura’ pada masa Jahiliyyah dan Nabi Muhammad SAW juga melaksankannya. Setelah beliau hijrah ke Madinah, beliau tetap berpuasa dan memrintahkan umat untuk melakukannya. Kemudian setelah puasa Ramadhan difardhukan, beliau berkata: “ Barang siapa yang hendak berpuasa maka, berpuasalah dan barang siapa yang iingin meninggalkannya maka, tinggalkanlah”. (HR. Imam al-Bukhori dan Imam Musli).
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدِمَ الْمَدِينَةَ فَوَجَدَ الْيَهُودَ صِيَامًا يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا هَذَا الْيَوْمُ الَّذِي تَصُومُونَهُ فَقَالُوا هَذَا يَوْمٌ عَظِيمٌ أَنْجَى اللَّهُ فِيهِ مُوسَى وَقَوْمَهُ وَغَرَّقَ فِرْعَوْنَ وَقَوْمَهُ فَصَامَهُ مُوسَى شُكْرًا فَنَحْنُ نَصُومُهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَنَحْنُ أَحَقُّ وَأَوْلَى بِمُوسَى مِنْكُمْ فَصَامَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ {صحيح مسلم – (ج 5 / ص 473)}
Dari Ibnu Abbas RA, berkata: “ Nabi Muhammad SAW dating ke Madinah, lalu menemukan orang-orang Yahudi berpuasa pada hari Asyura’. Lalu mereka ditanya tentang puasa tersebut. Mereka manjawab; “Pada hari ini Allah memenangkan Musa dan Bani Isra’il atas Raja Fir’aun. Kami melakukan puasa karena merayakannya. Lalu Nabi Muhammad SAW bersabda: “ Kami lebih berhak dengan Musa daripada kalian. Setelah itu beliau berpuasa dan memerintahkan umatnya berpuasa Asyura’. (HR. Imam Muslim).
Islam juga tidak menafikan budaya atau tradisi non-muslim yang benar dan berujung pada nilai-nilai etika. Dan tentu saja, Islam akan menyempurnakan etika luhur yang terkandung dalam sebuah tradisi, bukan memberantasnya.
Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan kemuliyaan budi=budi pekerti”. (HR. Al Bukhari).
Oleh karena itu, para ulama’ menganjurkan agar kita selalu mengikuti tradisi masyarakat dimana kita tinggal, selama tradisi tersebut tidak dilarang agama. Demikian halnya menurut kami, adat-istiadat yang tidak bertentangan dengan syariat dan terlanjur sudah membentuk karakter masyarakat, seandainya tidak mendatangkan fitnah-madharat (takalluf atau memaksakan diri sampai berhutang bayak dan bermewah-mewahan), seperti tradisi tahlilan, yasinan, nyewu, haul dan lain-lain sebagainya, maka sebaiknya dilestarikan. Karena melalui tradisi local tersebut dapat tercipta hubungan erat antara ulama’ dan masyarakat. Apalagi acara tersbut para ulama mendapat kesempatan bebicara lebih banyak, sehingga bias menjadi alternatif paling baik untuk berdakwah. Disamping itu, acara semacam; mitung dianani, matang pulohi dan lain-lain, juga bias menjadi media birrul walidain, ikramul jar atau menyambung silaturrahim dengan masyarakat setempat, yang semua itu diperintahkan oleh agama.
Dan termasuk bentuk apresiasi syari’at terhadap tradisi yang tidak menyimpang, di dalama fikih dikenal sebuah kaidah al-Adatu al Muhakkamah. Yaitu kaidah yang merupakan derivasi (turunan) penafsiran dari firman Allah SWT dalam surat al ‘Araf:199:
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ [الأعراف/199]
“Jadilah engkau pema’af dan suruhlah orang yang mengerjakan ma’ruf serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh”. (QS. Al ‘Araf:199)
Dalam tafsir Ibnu Katsir, kata Urf diartikan sebagai sesuatu yang dipahami secara luas oleh masyarakat sebagai suatu kebaikan.
Muhammad Ali al-Shobunidalam tafsir Shafwatur Tafaasir menjelaskan pengertian وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ adalah “Kebaikan dan keindahan yang dianggap benar, baik berupa perkataan atau perbuatan”.
‘Urf di sini, juga diartikan sebagai tradisi, adat atau amalan yang menjdi kelaziman masyarakat.
Menurut as-Suyuthi -seperti yang dikutip Syaikh Yasin bin Isa al-Fadani- kata ‘urf pada ayat diatas bisa ditarik diartikan sebagai kebiasaan atau adat. Ditegaskan juga oleh Syaikh Yasin, adat yang dimaksud disini adalah adat yang tidak bertentangan dengan syari’at.
Kemudian bila dilihat secara umum,maka sebenarnya ada dua kategori adat yang tidak bisa lepas dari dinamika kehidupan manusia:
- Adat Shahih, yakni; Bangunan tradisi yang tidak bertentangan dengan syari’at, tidakmenghalalkan sesuatu yang haram, tidak membatlakan sesuatu yang wajib, tidak menggugurkan cita kemaslahatan, serta tidak mendorong timbulnya mafsadah seperti; trdisi mauludan, tahlilan, yasinan, mitung dinani, metang pulohi, nyewu dan lain sebagainya yang dialaksanakantanpaunsur takalluf dan tidak ada alatul malaahi danikhtilat bainalrijal wannisa’.
- Adat Fasid, yaitu; Trdisi yang berlawanan dengan dalil-dalil syari’at atau menghalalkan keharaman maupun membatalkan kewajiban, serta mencegah kemaslahatan dan mendorong timbulnya kerusakan. Seperti; tradisi-tradisi Jawa yang masih penuh dengan nuansa syiriknya; nogo dino, sesajen, nenepi tirakatan dll. atau tradisi yang disitu mencampur antara kemaksiatan seperti tradisi sedekah laut, sedekah bumi, sabung ayam,nanggapwayang dll. atau bahkan pengajian umum dalam rangka Haul, mauludan, istighosahan, thoriqohhan, tawajuhan, yang terjadi takalluf dan mengajukan proposal besar-besaran atau ikhtilat bainal rijal wannisa’ atau adanya semarak alatul malaahi.
Hukum Tradisi di Masyarakat
Para ulama’ sepakat bahwa Adat Shahih wajib dipelihara dan diikuti apabila sudah menjadi norma sosial. Sebab, adat istiadat sudah berlaku secara umum berarti telah menjadi kebutuhan elementer bagi masyarakat.
Jadi, melanggar tradisi masyarakat yang tidak menyimpang atau diharamkan oleh agama adalah hal yang tidak baik hal ini al Imam Ibnu Muflih al-Hanbali, murid Ibnu Taimyyah berkata:
“Imam Ibnu Aqil berkata dalam kitab al Funun: “Tidak baik keluar dari tradisi masyarakt, kecuali tradisi yang haram. Karena Nabi SAW telah membiarkan Ka’bah sambil bersabda: “Seandainya kaummu tidak baru saja meninggalkan masa-masa jahiliyyah…” Sayidina Umar berkata: “Seandainya orang-orang tidak akan berkata, Umar telah membaca Al-Qur’an, maka aku akan menulis ayat rajam didalmnya.”. Imam Ahmad bin Hanbal meninggalkan shalat dua rakaat sebelum Maghrib karena masyarakat mengingkarinya. Dalam kitab al Fushul disebutkan tentang dua rakaat sebelum Maghrib, bahwa imam kami Ahmad bin Hanbal pada awalnya melakukan shalat tersebut. Namun kemudian beliau meninggalkannya. Beliau berkata: “ Aku melihat orang-orang tidakmengetahuinya”. Imam Ahmad bin Hanbal juga memakruhkan Qadha’ shalat ditempat luas pada waktu akan dilaksankannya shlat Ied (hari raya). Beliau berkata;” Aku khawatir orang-orang melihatnya akan ikut-ikutan melakukannya”.
Adapun untuk Adat Fasid jelas ini merupakan tradisi yang tidak boleh dilestarikan. Karena pemeliharaaan atau ikut serta dalam tradisi semacam ini akanmengakibatkan rusaknya fondasi-fondasi hukum syari’at. Apalagi dala dat fasid tidak mengandung unsur-unsur maslahat, kalaupun ada pasti bersifat subyektif, sementara atau terikat pada satu kondisi saja.
Oleh karena itu, untuk menolak adat fasid yang bertentangan dengan syari’at atau tradisi yang nialai maslahatnya belum jelas ini, maka perlu diterapkan kaidah:
دفع المفاسد مقدم على جلب مصالح
Menolak kerusakan itu lebih baik didahulukan daripada mendatangkan kemaslahatan.
Wallahu ‘Alam (MNN/ElQolam)
Sumber:
Mengamalkan Ajaran Syariat dan Membenahi Adat Istiadat karya KH. M. Najih Maemoen.