Rosulullah SAW telah menjelaskan dalam haditsnya bahwa di setiap generasi pasti Allah ciptakan para ‘ulama’ yang ‘adil dan mejaga agama islam dari kebathilan. Merekalah yang mengemban amanah menjaga syari’at-syari’at yang telah ditetapkan oleh Allah SWT untuk ummat ini. Mereka adalah ‘ulama’ mujaddidun para kholifah Rosulillah SAW. Mengikuti mereka adalah harga mati tidak dapat ditawar lagi, hal ini sebagaimana yang disabdakan oleh beliau SAW;
من فارق الجماعة شبرا فقد خلع ربقة الإسلام من عنقه
Artinya; Barang siapa yang keluar dari golongan Jama’ah walau hanya satu jengkal saja maka ia telah mencopot tali Islam dari lehernya.
Imam al-Bukhori menjelaskan bahwa kata Jama’ah yang dimaqsud adalah para ‘Ulama’.
Ada beberapa ayat yang menjelaskan kewajiban Ittiba’ul ‘ulama’ (taqlid) bagi orang yang tidak tahu (bukan ahli ijtihad).
- Dalam firman Allah SWT;
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا (59)
*Para pakar tafsir menafsiri yang dimaksud وَأُولِي الْأَمْرِ dalam ayat adalah para ‘ulama’
- Al-Qur’an surat an-Nahl ayat 43;
فَسْئَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ (43)
* Khithob dalam ayat umum ditujukan kepada siapapu yang tidak tahu untuk bertanya dan ikut kepada yang tahu.
Maka sudah jelas bahwa seorang muslim harus berpegangan dengan tali Allah SWT, tidak bercerai berai, mengikuti ajaran al-Qur’an, hadits, petunjuk para ‘ulama’ dan para imam madzhab. Barang siapa yang melenceng keluar dari madzhab ‘ulama’ tersebut maka ia telah keluar menuju neraka, hal ini sebagaimana yang diisyaratkan من شذّ شذّ إلى النار (al-hadits). Dan dapat kita simpulkan bahwa orang ‘Awam tidak boleh mengambil hukum (berijtihad) sendiri dari al-Qur’an dan Hadits tanpa tuntunan dari ‘ulama’.
Perlu diketahui bahwa orang ‘Awam tidaklah harus berpegangan satu madzhab (fanatic madzhab), ia boleh pindah ke madzhab lainnya, akan tetapi ia tidak bisa difonis bermadzhab tertentu. Artinya seorang ‘Awam boleh pindah dari madzhab syafi’i ke madzhab lain tapi dia tidak boleh menisbatkan dirinya kepada madzhab syafi’i. Ada yang berpendapat hal itu tidak boleh, sebab orang awam tersebut dengan mengikuti madzhab tertentu berarti ia telah mayaqini kebenaran imamnya, maka ia harus ikut pendapat imamnya secara totalitas. Jika kita mengikuti pendapat pertama, maka orang ‘awam boleh mengikuti madzhab selain imamnya dalam satu praktik, seperti ia boleh mengikuti madzhab syafi’i ketika sholat dzuhr, dan mengikuti madzhab malik ketika sholat ashr, bahkan ketika ia melakukan sholat dengan aturan madzhab syafi’I yang ia sangka sah kemudian setelah diteliti lagi ternyata tidak sah karena alasan tertentu yangmana dimadzhab lain hal itu diperbolehkan maka ia boleh pindah ke madzhab lain tersebut dan sholatnya dianggap cukup. Maka tampaklah ni’mat Allah SWT yang telah menjadikan perbedaan antar madzhab yang kesemuanya boleh diikuti dalam keadaan apapun selagi masih dalam satu praktik, tanpa adanya fanatic satu madzhab yang dilakukan oleh ummat sebelumnya, karena hal itu akan menjadikan perpecahan. Allah SWT berfirman;
مِنَ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ (32) [الروم:32
Perlu digaris bawahi bahwa boleh berpindah madzhab seperti yang dijelaskan diatas hanya lintas empat madzhab yang dianggap (ijtihad muthlaq) tidak yang lain sebagaimana yang telah disepakati oleh ‘ulama’ ahli fiqh.
Wal hasil, kita ahlussunnah wal jama’ah harus tetap berpegangan teguh dengan dasar yang telah ditetapkan oleh ‘ulama’ madzhab empat, tak terkecualikan masalah-masalah baru yang rumit dan tidak ditemukan secara shorih dalam kutubutturots, artinya qoidah umum tidak boleh kita tinggalkan, kita hanya boleh mengqiyaskan atau mengilhaqkan saja, bukan dengan cara meng-istinbatul hukmi dari matan hadits secara langsung, karena para ‘ulama’ lebih layak dan jauh lebih cerdas dalam meng-istinbatul hukmi daripada kita. Oleh karenanya imam al-kautsari berpendapat bahwa tidak memiliki madzhab akan berujung tidak beragama, sebab orang yang tidak bermadzhab akan mudah tersesat dan jauh dari kebenaran.
Pembatasan Ijtihad dalam agama islam tidaklah bermaqsud memberatkan pemeluknya, bahkan tujuannya adalah menjaga ajaran islam itu sendiri, jika kekuasaan ijtihad ini dibebaskan maka akan banyak orang yang mengaku-ngaku ijtihadnya benar tanpa ada dasar yang jelas (liberal), hal itu akan mengakibatkan rusaknya ajaran agama islam.
Terlepas dari pembatasan ijtihad tersebut, kita ahlussunnah wal jama’ah juga bukanlah golongan yang radikal yang kolot dengan presipsi mereka. Atau golongan yang keras memberi hokum yang sebenarnya masih mukhtalaf fiih. Golongan Ahlussunnah wal jama’ah adalah golongan tengah-tengah dari dua golongan tersebut, Ahlussunnah wal jama’ah masih toleran dengan pendapat yang makhtalaf fiih, walaupun tetap memilih pendapat yang ashoh, dan ahlussunnah wal jama’ah tidak akan merubah apa yang menjadi mujma’ ‘alaih dan yang ditetapakn oleh para imamnya.
Di sadur dari kitab ‘Ulama’ Mujaddidun (KH. Maemoen Zubair)
Oleh A. Wafir Hadi