* Oleh : Muhammad Idrus Ramli
Mukaddimah
Di antara propaganda yang sering digunakan oleh kaum Salafi-Wahabi bahwa mereka satu-satunya golongan yang layak disebut Ahlussunnah Wal-Jama’ah, adalah klaim bahwa hanya mereka yang mengikuti ahli hadits. Sementara selain mereka, dianggap mengikuti ahli bid’ah. Propaganda semacam ini mudah dalam mempengaruhi kalangan awam yang tidak mengerti fakta dan realita ahli hadits. Berikut ini akan kami paparkan posisi ahli hadits dalam bidang akidah dan fiqih.
Pada dasarnya, ahli hadits tidak memiliki madzhab tertentu yang menyatukan pemikiran mereka, baik dalam bidang akidah maupun dalam bidang fiqih. Kitab-kitab tentang rijal al-hadits dan biografi ahli hadits, menyebutkan dengan gamblang bahwa di antara ahli hadits ada yang mengikuti aliran Syiah, Khawarij, Murjiah, Mu’tazilah, Mujassimah, madzhab al-Asyari, al-Maturidi dan aliran-aliran pemikiran yang lain.[1] Di antara mereka ada juga yang mengikuti akidah yang diceritakan oleh Ibnu Taimiyah dari sebagian ahli hadits dan diklaim sebagai madzhab salaf dan Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Hanya saja, apabila ditelusuri literatur sejarah akan didapati, bahwa dalam bidang akidah, mayoritas ahli hadits mengikuti madzhab al-Asy’ari. Dalam konteks ini,
al- Imam Abu Manshur al-Baghdadi berkata:
ثُمَّ بَعْدَهُمْ شَيْخُ النَّظَرِ وَإِمَامُ اْلآَفَاقِ فِي الْجَدَلِ وَالتَّحْقِيْقِ أَبُو الْحَسَنِ عَلِيُّ بْنِ إِسْمَاعِيْلَ اْلأَشْعَرِيُّ الَّذِيْ صَارَ شَجاً فِيْ حُلُوْقِ الْقَدَرِيَّةِ …. وَقَدْ مَلأَ الدُّنْيَا كُتُبُهُ، وَمَا رُزِقَ أَحَدٌ مِنَ الْمُتَكَلِّمِيْنَ مِنَ التَّبَعِ مَا قَدْ رُزِقَ، لأَنَّ جَمِيْعَ أَهْلِ الْحَدِيْثِ وَكُلَّ مَنْ لَمْ يَتَمَعْزَلْ مِنْ أَهْلِ الرَّأْيِ عَلىَ مَذْهَبِهِ.
“Pada generasi berikutnya adalah Guru Besar pemikiran dan pemimpin berbagai daerah dalam hal perdebatan dan penelitian, Abu al-Hasan Ali bin Ismail al-Asy’ari yang telah menjadi kesedihan dalam kerongkongan kaum Qadariyah … Buku-bukunya telah memenuhi dunia. Tak seorang pun dari ahli kalam yang memiliki pengikut sebanyak pengikutnya, karena semua ahli hadits dan semua ahl al-ra’yi yang tidak ikut Mu’tazilah mengikuti madzhabnya”.[2]
Selanjutnya al-Imam Tajuddin al-Subki juga berkata:
وَهُوَ يَعْنِيْ مَذْهَبَ اْلأَشَاعِرَةِ مَذْهَبُ الْمُحَدِّثِيْنَ قَدِيْمًا وَحَدِيْثًا.
“Madzhab Asya’irah adalah madzhab para ahli hadits dulu dan sekarang”.[3]
Di antara ahli hadits yang sangat populer mengikuti madzhab al-Asy’ari adalah Ibnu Hibban, al-Daraquthni, Abu Nu’aim, Abu Dzar al-Harawi, al-Hakim, al-Khaththabi, al-Khathib al-Baghdadi, al-Baihaqi, Abu Thahir al-Silafi, al-Sam’ani, Ibnu ‘Asakir, al-Qadhi ‘Iyadh, Ibnu al-Shalah, al-Nawawi, Abu Amr al-Dani, Ibnu Abdil Bar, Ibnu Abi Jamrah, al-Kirmani, al-Mundziri, al-Dimyathi, al-‘Iraqi, al-Haitsami, Ibnu Hajar al-‘Asqalani, al-Sakhawi, al-Suyuthi, al-Qathalani, al-Ubbi, Ali al-Qari dan lain-lain. Kesimpulannya, mayoritas ahli hadits dalam bidang akidah mengikuti madzhab al-Asy’ari.
Sementara dalam bidang fiqih, di antara ahli hadits ada yang mengikuti madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali dan madzhab-madzhab fiqih yang lain. Hanya saja, apabila kita mengkaji kitab-kitab biografi ahli hadits seperti kitab Tadzkirah al-Huffazh karya al-Dzahabi, Thabaqat al-Huffazh karya al-Suyuthi dan lain-lain, akan kita dapati bahwa mayoritas ahli hadits mengikuti madzhab Syafi’i. Sebagian ulama mengatakan bahwa 80 % ahli hadits mengikuti madzhab Syafi’i. Al-Imam Syah Waliyullah al-Dahlawi al-Hanafi, seorang ahli hadits dan pakar fiqih berkebangsaan India, memberikan kesaksian tentang keistimewaan madzhab Syafi’i dibandingkan dengan madzhab-madzhab yang lain ditinjau dari tiga hal:
- Ditinjau dari aspek sumber daya manusia, madzhab Syafi’i adalah madzhab terkaya memiliki mujtahid muthlaq dan mujtahid madzhab, madzhab yang paling banyak memiliki pakar ushul fiqih, teologi, tafsir dan syarih (komentator) hadits.
- Ditinjau dari segi materi keilmuan, madzhab Syafi’i adalah madzhab yang paling kokoh dari segi sanad dan periwayatan, paling kuat dalam autentisifikasi teks-teks perkataan imamnya, paling bagus dalam membedakan antara perkataan Imam Syafi’i (aqwal al-Imam) dengan pandangan murid-muridnya (wujuh al-ashhab), paling kreatif dalam menghukumi kuat dan tidaknya sebagian pendapat dengan pendapat yang lain dalam madzhab. Demikian ini akan dimaklumi oleh seseorang yang meneliti dan mengkaji berbagai madzhab.
- Ditinjau dari segi referensi, hadits-hadits dan atsar yang menjadi sumber materi fiqih madzhab Syafi’i telah terkodifikasi dan tertangani dengan baik. Hal ini belum pernah terjadi kepada madzhab lain. Di antara materi madzhab Syafi’i adalah al-Muwaththa’, Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, karya-karya Abu Dawud, al-Tirmidzi, Ibnu Majah, al-Darimi, al-Nasa’i, al-Daraquthni, al-Baihaqi dan al-Baghawi.
Selanjutnya al-Dahlawi mengakhiri kesaksiannya dengan berkata:
وَإِنَّ عِلْمَ الْحَدِيْثِ وَقَدْ أَبَى أَنْ يُنَاصِحَ لِمَنْ لَمْ يَتَطَفَّلْ عَلىَ الشَّافِعِيِّ وَأَصْحَابِهِ رَضِيَ اللهُ تَعَالىَ عَنْهُمْ، وَكُنْ طُفَيْلِيَّهُمْ عَلىَ أَدَبٍ، فَلاَ أَرىَ شَافِعًا سِوىَ اْلأَدَبِ.
“Sesungguhnya ilmu hadits benar-benar enggan memberi dengan tulus kepada orang yang tidak membenalu kepada Imam Syafi’i dan murid-muridnya y. Jadilah kamu benalu kepada mereka dengan beretika, karena aku tidak melihat penolong selain etika”.[4]
Kesaksian al-Dahlawi di atas, bahwa madzhab Syafi’i merupakan perintis dan pemimpin umat Islam dalam ilmu hadits, sangat penting, mengingat reputasi keilmuan al-Dahlawi sebagai seorang pakar hadits dan fiqih yang bermadzhab Hanafi, dan bukan pengikut madzhab Syafi’i. Kesaksian tersebut diperkuat dengan fakta sejarah bahwa pada masa silam, istilah ahli hadits identik dengan para ulama madzhab Syafi’i. Dalam konteks ini, al-Hafizh al-Sakhawi berkata:
قَالَ النَّوَوِيُّ ، وَنَاهِيْكَ بِهِ دِيَانَةً وَوَرَعًا وَعِلْمًا، فِيْ زَوَائِدِ الرَّوْضَةِ مِنْ بَابِ الْوَقْفِ: وَالْمُرَادُ بِأَصْحَابِ الْحَدِيْثِ الْفُقَهَاءُ الشَّافِعِيَّةُ، وَأَصْحَابِ الرَّأْيِ الْفُقَهَاءُ الْحَنَفِيَّةُ اهـ وَمَا أَحَقَّهُمْ بِالْوَصْفِ بِذَلِكَ.
“Imam al-Nawawi berkata –betapa hebatnya beliau dalam segi keagamaan, kewara’an dan keilmuan-, dalam Zawaid al-Raudhah, pada bagian bab waqaf: “Yang dimaksud engan ahli hadits adalah fuqaha Syafi’iyah, sedangkan ahl al-ra’yi adalah fuqaha Hanafiyah”. Alangkah berhaknya mereka dikatakan demikian”.[5]
Di antara ahli hadits yang mengikuti madzhab Syafi’i adalah al-Bukhari, Muslim, al-Nasa’i, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, al-Isma’ili, al-Daraquthni, Abu Nu’aim, al-Khathib al-Baghdadi, al-Hakim, al-Khaththabi, al-Baihaqi, al-Silafi, Ibnu Asakir, al-Sam’ani, Ibnu al-Najjar, Ibnu al-Shalah, al-Nawawi, al-Dimyathi, al-Mizzi, al-Dzhahabi, Ibnu Katsir, al-Subki, Ibnu Sayyidinnas, al-‘Iraqi, al-Haitsami, Ibnu Hajar al-‘Asqalani, al-Sakhawi, al-Suyuthi dan lain-lain.
Paparan di atas menyimpulkan, bahwa ahli hadits tidak memiliki paradigma tertentu yang menyatukan pemikiran mereka dalam satu madzhab, baik dalam bidang fiqih maupun akidah. Ahli hadits menyebar di berbagai madzhab keislaman, baik dalam fiqih maupun akidah. Hanya saja, apabila dikaji secara seksama, akan disimpulkan bahwa mayoritas ahli hadits mengikuti madzhab Asy’ari dalam hal akidah, dan mengikuti madzhab Syafi’i dalam hal fiqih. Sehingga tidak heran apabila dalam perjalanan sejarah, ahli hadits identik dengan madzhab Syafi’i.
Dari sini sebagian ulama terkemudian memberikan kesimpulan yang cukup simpel bahwa al-firqah al-najiyah atau Ahlussunnah Wal-Jama’ah, adalah golongan mayoritas umat Islam yang mengikuti salah satu madzhab fiqih yang empat dan mengikuti akidah madzhab al-Asy’ari dan al-Maturidi. Sedangkan pengakuan kaum Salafi-Wahabi bahwa merekalah Ahlussunnah Wal-Jama’ah dan ahli hadits, masih perlu dikaji secara ilmiah dan obyektif. Wallahu a’lam.
- Salafi-Wahabi dan Ahli Hadits
Salafi-Wahabi mengaku bahwa mereka mengikuti ahli hadits. Padahal mayoritas ahli hadits mengikuti madzhab al-Asy’ari dan al-Maturidi. Sedangkan ahli hadits generasi salaf dan generasi sesudahnya yang menjadi panutan Salafi-Wahabi, hanya segelintir ahli hadits saja yang disebut dengan kaum Hasyawiyyah atau pengikut aliran Mujassimah. Sehingga sangat tidak logis dan tidak rasional apabila orang-orang segelintir tersebut dianggap sebagai representasi ahli hadits, dimana mayoritas mereka mengikuti madzhab al-Asy’ari dan al-Maturidi.
Untuk melegitimasi pengakuan mereka dan membangun kepercayaan umat Islam, bahwa Salafi-Wahabi benar-benar mengikuti ahli hadits, kaum Salafi-Wahabi melakukan beberapa langkah agar umat Islam tertipu dengan penampilan dan propaganda mereka.
2. Mendiskreditkan Para Ulama Ahli Hadits
Pertama, Salafi-Wahabi mendiskreditkan para ulama ahli hadits. Di antara ulama yang mereka diskreditkan dan mereka anggap sebagai ahli bid’ah adalah al-Imam al-Baihaqi, al-Imam Abu Amr al-Dani, al-Hafizh Ibnu Asakir, al-Imam al-Nawawi dan al-Hafizh Ibnu Hajar. Para ulama senior Salafi-Wahabi seperti Ibnu Baz, Ibnu Utsaimin, al-Albani, al-Fauzan dan lain-lain, secara terang-terangan memvonis para ulama ahli hadits tersebut telah keluar dari Ahlussunnah Wal-Jama’ah dan mengikuti ahli bid’ah, karena mengikuti madzhab al-Asy’ari.
Vonis semacam ini ternyata menimbulkan kegoncangan di kalangan awam kaum Salafi-Wahabi. Kaum awam mereka bertanya-tanya, apabila Salafi-Wahabi memang mengikuti ahli hadits, lalu ahli hadits yang mana yang mereka ikuti? Bukankah para ulama ahli hadits terkemuka yang menjadi rujukan utama mayoritas umat Islam, termasuk kaum Salafi-Wahabi, seperti al-Baihaqi, al-Dani, Ibnu Asakir, al-Nawawi, Ibnu Hajar dan lain-lain mengikuti madzhab al-Asy’ari? Untuk menjawab pertanyaan ini, kaum Salafi-Wahabi modern mengeluarkan vonis lebih ringan, bahwa al-Baihaqi, al-Dani, al-Nawawi dan Ibnu Hajar sebenarnya tidak mengikuti madzhab al-Asy’ari. Mereka hanya menyetujui beberapa pendapat dalam madzhab al-Asy’ari. Tentu saja jawaban ini tidak ilmiah dan jelas mengelabui kaum awam Salafi-Wahabi. Karena seandainya benar dikatakan bahwa al-Baihaqi, al-Dani, Ibnu Asakir, al-Nawawi dan Ibnu Hajar menyetujui banyak pendapat madzhab al-Asy’ari, mereka tidak pernah menyetujui ajaran Salafi-Wahabi yang berpaham tasybih dan tajsim. Lebih parah lagi, akhir-akhir ini, sebagian tokoh amatir Salafi-Wahabi menulis buku yang isinya menerangkan bahwa al-Hafizh Ibnu Hajar sama sekali bukan pengikut madzhab al-Asy’ari. Tentu saja pandangan tokoh amatir Salafi-Wahabi ini tidak layak digubris secara ilmiah dan serius. Mengingat pandangan al-Hafizh Ibnu Hajar dalam kitab-kitabnya, terutama kitab Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari, referensi primer para pengkaji ilmu hadits termasuk kaum Salafi-Wahabi, mengikuti metodologi madzhab al-Asy’ari.
Begitulah kekacauan ideologis dalam pemikiran kaum Salafi-Wahabi. Kerja keras mereka untuk membangun opini bahwa mereka satu-satunya representasi ahli hadits, melahirkan kekacauan di kalangan mereka sendiri dalam menyikapi para ulama ahli hadits yang mengikuti madzhab al-Asy’ari dan al-Maturidi.
3. Pembunuhan Karakter Kitab-kitab Ahli Hadits
Kedua, langkah berikutnya yang dilakukan oleh Salafi-Wahabi dalam rangka membangun opini bahwa mereka satu-satunya representasi ahli hadits, adalah dengan menerbitkan kitab-kitab akidah yang ditulis oleh para ulama ahli hadits, dengan diberi komentar dan catatan kaki yang bertentangan dan bertolak belakang dengan tujuan dan maksud penulisan kitab tersebut. Di antara kitab-kitab akidah ahli hadits yang telah mengalami pembunuhan karakter di tangan kaum Salafi-Wahabi adalah:
1) Al-‘Aqidah al-Thahawiyyah, karya al-Imam Abu Ja’far al-Thahawi.
Nama pengarangnya adalah al-Imam al-Hafizh Abu Ja’far Ahmad bin Muhammad bin Salamah al-Thahawi al-Hanafi (239-321 H/853-933 M), seorang ulama ahli hadits yang menyandang gelar al-Hafizh, terpercaya dan hidup pada masa salaf. Al-Thahawi menulis kitabnya, al-‘Aqidah al-Thahawiyyah, untuk menjelaskan akidah Ahlussunnah Wal-Jama’ah, akidah Rasulullah dan generasi salaf yang saleh, sejak generasi sahabat sesuai dengan paradigma madzhab Imam Abu Hanifah (pendiri madzhab Hanafi), dan kedua muridnya, al-Imam Abu Yusuf dan Muhammad bin al-Hasan. Ketiga imam tersebut adalah tokoh generasi salaf yang suci. Abu Hanifah wafat pada tahun 150 H, dan mengikuti masa sebagian sahabat. Abu Yusuf wafat pada tahun 183 H. Sedangkan Muhammad bin al-Hasan wafat pada tahun 187 H.
Kandungan al-‘Aqidah al-Thahawiyyah tersebut diikuti oleh Imam al-Asy’ari dan al-Matudiri, dan selanjutnya diikuti oleh para ulama madzhab empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali), kecuali sekelompok kecil dari pengikut madzhab Hanbali yang berpaham tasybih dan tajsim, yang dewasa ini diikuti oleh kaum Salafi-Wahabi. Mengingat reputasi al-‘Aqidah al-Thahawiyyah yang luar biasa, dimana kitab tersebut memiliki sanad yang kuat dan shahih kepada ulama salaf, maka kaum Salafi-Wahabi yang tidak pernah berhenti melakukan propaganda bahwa mereka satu-satunya representasi ajaran salaf, sangat memperhatikan penyebaran al-‘Aqidah al-Thahawiyyah dengan memberinya syarh (komentar) dan ta’liq (catatan kaki) dari kalangan mereka, agar terkesan di mata kaum Muslimin bahwa akidah mereka sama dengan akidah al-Thahawi.
Di antara ulama Salafi-Wahabi yang menulis syarh dan ta’liq terhadap al-‘Aqidah al-Thahawiyyah adalah Ibnu Baz, al-‘Utsaimin, al-Fauzan, al-Khumayyis, al-Barrak dan lain-lain. Akan tetapi apabila kita membaca syarh dan ta’liq ulama Salafi-Wahabi terhadap al-‘Aqidah al-Thahawiyyah, akan didapati bahwa akidah mereka bertentangan dan bertolak belakang dengan akidah kaum salaf dari generasi sahabat dan tabi’in yang dirangkum oleh al-Imam al-Thahawi. Hanya saja untuk menutupi pertentangan akidah mereka dengan akidah kaum salaf, ulama Salafi-Wahabi melakukan dua langkah dalam mengomentari al-‘Aqidah al-Thahawiyyah. Pertama), mencela dan menyalahkan pernyataan al-Imam al-Thahawi yang tidak sesuai dengan ideologi Salafi-Wahabi, dan kedua), melakukan tahrif (distorsi) terhadap makna kalimat yang dimaksud oleh al-Thahawi ketika bertentangan dengan paham Salafi-Wahabi. Oleh karena itu, kaum Muslimin harus berhati-hati dengan syarh dan ta’liq yang ditulis oleh Salafi-Wahabi terhadap al-‘Aqidah al-Thahawiyyah, seperti tulisan Ibnu Abil ‘Izz al-Hanafi, Ibnu Baz, al-Albani, Ibnu ‘Utsaimin, al-Fauzan, al-Khumayyis, al-Barrak dan lain-lain.
Apabila kaum Muslimin ingin memahami uraian al-‘Aqidah al-Thahawiyyah dengan benar, hendaknya membaca kitab-kitab syarh yang ditulis oleh para ulama Ahlussunnah Wal-Jama’ah, seperti Syarh ‘Aqidah al-Imam al-Thahawi, karya al-Imam Sirajuddin al-Ghaznawi al-Hindi, Syarh al-‘Aqidah al-Thahawiyyah karya al-Imam Abdul Ghani al-Ghunaimi al-Hanafi, Izhhar al-‘Aqidah al-Sunniyyah bi-Syarh al-‘Aqidah al-Thahawiyyah, karya Syaikh Abdullah al-Habasyi al-Harari dan lain-lain.
[1] Lihat misalnya dalam al-Hafizh al-Mizzi, Tahdzib al-Kamal fi Asma’ al-Rijal, al-Hafizh al-Dzahabi, Tadzkirat al-Huffazh, al-Hafizh Ibn Hajar, Lisan al-Mizan, al-Hafizh al-Suyuthi, Thabaqat al-Huffazh dan lain-lain. Al-Hafizh Jalaluddin al-Suyuthi menulis data 87 nama-nama perawi hadits Shahih al-Bukhari dan Muslim yang terindikasi atau terbukti mengikuti faham Murjiah, Nashibi, Syiah, Qadariyah dan Khawarij, (Lihat: al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi Syarh Taqrib al-Nawawi, juz 1, hlm. 178).
[2] Abu Manshur al-Baghdadi, Ushul al-Din, hal. 309-310.
[3] Tajuddin al-Subki, Thabaqat al-Syafi’iyyah al-Kubra, juz 4, hal. 32.
[4] Waliyullah bin Abdurrahim al-Dahlawi, al-Inshaf fi Bayan Sabab al-Ikhtilaf, hal. 38-39.
[5] Al-Hafizh al-Sakhawi, al-Jawahir wa al-Durar fi Tarjamah Syaikh al-Islam Ibn Hajar, juz 1, hal. 79.