Home / AYO MONDOK / Tradisi Salaf Atau Modern?

Tradisi Salaf Atau Modern?

Menulis/Ilustrasi

“Jika kamu bukan keturunan bangsawan atau konglomerat maka, menulislah.”

( Al Ghozaly )

            Sekelumit ungkapan al Ghozaly tersebut mengundang beribu tanya bagi kita. Apa hebatnya menulis? Mengapa sampai disejajarkan dengan bangsawan dan konglomerat? Jika yang dipandang adalah kedudukan dan kekayaan, apakah dengan menulis dapt mencapai itu semua ?. Entahlah, yang pasti ungkapan tersebut sering kali dikutip oleh para penulis disela-sela motivasinya khususnya penulis yang berlatang belakang santri. Ya saya pun pertama kali menemukan ungkapan tersebut dalam buku “Jalan Terjal Santri Menjadi Penulis” yang memuat kisah-kisah santri yang bejuang agar tulisannya dapat disebut layak.

Membaca buku tersebut seperti melahirkan energi baru yang segar untuk terus mengulik-ngulik secarik kertas dengan tinta pena. Tentunya bagi mereka yang sudah ada minat terjun di dunia Jurnalistik. Bagi anda yang sudah membaca bukunya, apakah merasakan hal yang sama?

Kembali kepada pembahasan judul yang saya sajikan. Sebelumnya, saya sempat heran dengan santri-santri yang kurang minat ( kalau tidak mau sama sekali disebut “Sama sekali tidak minat” ) dalam menulis. Dalam benak mereka adalah pekerjaan orang umum atau non santri yang sebagian besar hidup di gedung kampus dan sekolah umum. Sehingga mereka beranggapan bahwasanya tidak penting bagi santri untuk bisa menulis. Karena mereka beranggapan tradisi sntri hanyalah 3 N (Ngaji, Ngabdi dan Ngopi). Ya, cukup itu saja yang perlu dilestarikan, tidak ada tradisi menulis menurut merek.

Padahal jika mereka mau menilisik kembali dengan penuh kesadaran, mereka dapat belajar ilmu syari’at lewat kutubut turats dikrenakan adanya karya tulis dari ulama’ berupa kitab-kitab tersebut. Inilah yang perlu kita sadari, kita dapat menerima pemikiran-pemikiran ulama’ karena beliau mewariskan karya tulisnya, bukan hanya dari lisan kelisan yang nanti pada akhirnya menghilang dengan sendiinya.

Seperti halnya pada madhzab. Saat ini, madhzab yang kita ketahui ada empat, yakni Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hanbali. Mengapa demikian? Apakah masa-masa itu memang sulit sekali menjadi mujtahid madhzab ? ternyata tidaksebenarnya msih masih banyak madhzab-madhzab lain yang setingkat dengan Madhzahibul Arba’ah. Namuun, tidak bisa diakui karena hasil ijtihadnya tidak sampai dibukukan, sehingga pada kurun berikutnya ulama’ sulit mengakusisi madhzab-madzab tersebut.

Kemudian kesalah pahaman yang dilakukan santri adalah menganggapistilah ‘menulis’ itu merujuk pada Koran, majalah, bulletin, novel, puisi, makalah dan skripsi yang dipenuhi dengan tulisan berbahasa Indonesia, yang menurut mereka hal tersebut merupkan wilayah orang-orang umum bukan santri, sehingga mereka biasa jika tidak bisa menulis, yakni menelurkan apa yang ada di pikiran kita untuk kemudian dituangkan dalam lembaran-lembaran dengan penyampaianyang enak, sehingga bisa dinikmati orang lain dan diambil manfaatnya dari bacaan tersebut.

Hal ini sama yang dilakukan oleh para ulama’ salaf, beliau membuat karya tulis berupa kitab-kitab dengan gaya yang khas menurut pribadi ulama’ masing-masing dan disebarkan ke penjuru dunia agar bermanfaat bagi orang yang membacanya.

Coba kita bandingkan perpustakaan umum dengan perpustakaan pondok atau madrasah. Kita bisa bandingkan jika buku-buku yang di pepustakaan umum rata-rata hanya satu atau dua jilid, jarang sekali yang sampai empat atau lima jilid, apalagi yang sampai berjilid-jilid bahkan saya belum penah menjumpai yang sampai 20, 30 atau 40 jilid seperti ulama’-ulama’ kita. Hal ini menunjukan gairah ulama’ kita lebih besar dari pada orang-orang umum.

Karena kita tinggal di Indonesia maka sebaiknya kita belajar menulis dengan bahasa Indonesia terlebih dahulu dengan baik dan benar sesuai EYD yang berlaku. Jangan katakana menulis dengan bahasa Indonesia tidak mengikuti ulama’ Salaf. Kita mempelajai karya-karya tulis ulama’ yang berbahasa Arab kaena memang bahasa Arab adalah bahasa universal Islam. Selain meupakan bahasa Al Qur’an, cakupan pembaca juga lebih meluas di kalangan umat muslim diseluruh dunia. Dan jika kita pikirkan, apakah mudah bagi kita seorang penulis pemula membuat karya tulis berbahasa Arab seperti kitab-kitab ulama’  salaf?. Lucu bukan? Jikamenulis dengan bahasa sendiri saja belum maksimal apalagi menulis dengan bahsa orang lain?.

Oleh karena itu mulai saat ini marilah kita biasakan dan sadar akan pentingnya menulis. Menulis bukanlah tradisi modern yang dilakukan orang-orang umum. Menulis bukan hanya sekedar mencoret-coret dengan pena atau dengan menekan tombol keyboard, menulis adalah proses menyamapaikan pesan-pesan yang ada di benak kita agar bermanfaat bagi orang yang membacanya.

Pada akhirnya, kita tahu mengapa Al-Ghozali menyuruh kita untuk menulis. Bukan kedudukan atau kekayaan, melainkan memberi manfaat yang besar yang bisa kita sebar luaskan. Dan haltersebut merupakan pengejawantahanan “Khoirunnas ‘anfauhum linnas” dari Nabi Muhammad SAW. yang dapat kita realisasikan the last.

Apa yang akan anda tulis hari ini???

(Oleh: Munich el Hambran )

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *